Renungan “Mengukir Kembali Tinta Emas yang Mulai Pudar”
![]() |
ilustrasi foto oleh ukhty-shoghir |
Kisah ini terjadi ketika awal mula Rasulullah
SAW diutus untuk berdakwah menyebarkan agama Islam. Pasca wafat istri beliau
yang tercinta dan paman beliau yang setia membela perjuangannya, saat itu bisa
dikatakan titik nol yang terjadi kepada beliau dan sahabatnya. Dimana tak ada lagi kekuatan yang bisa mereka
andalkan melainkan kekuatan keyakinan mereka kepada Yang Maha Kuasa. Tidak
jarang sang Nabi dihina, dicaci-maki, dan diusir oleh kaumnya ketika menyerukan
agama yang mulia ini. Tidak jarang pula para sahabat disiksa, dikucilkan, dan
ditindas oleh para kafir Quraisy yang kala itu begitu semena-mena dengan
kekuasaannya. Kaum muslimin kala itu sangat lemah dalam segala aspek. Untuk
beribadah saja mereka harus sembunyi-sembunyi. Tidak ada perintah untuk melawan.
Mereka hanya disuruh bersabar atas segala ujian. Tak jarang pula mereka
diboikot. Suplai makanan dan minuman dibatasi sampai-sampai tidak sedikit dari
mereka yang mengkonsumsi akar-akar pepohonan. Sungguh tragis apa yang terjadi
pada kaum muslimin kala itu. Namun semua itu tidak mematahkan semangat juang
mereka, melainkan menambah akan keimanan dan kedekatan mereka kepada Allah.
Begitulah, ketika hati telah merasakan manisnya iman. Saberat apapun cobaan
yang dihadapi akan menjadi ringan tanpa beban.
Begitulah keadaan kaum muslimin saat mereka berada di titik
nol. Mereka lemah dalam perekonomian, lemah dalam kemiliteran, lemah dalam
perpolitikan, lemah dalam segala hal. Mereka betul-betul zero. Hal ini terus
berlanjut hingga Rasulullah SAW hijrah
ke kota Madinah yang kala itu masih dikenal dengan nama Yastrib. Mulai dari
sinilah titik balik kesuksesan Rasulullah SAW dan kaum muslimin. Tahukah anda
bahwa ketika para sahabat hijrah tak sepeser pun harta yang mereka bawa?
Tahukah pula anda bahwa penduduk Madinah yang bersedia menyambut Rasul dan para
Muhajirin kala itu mayoritas hanya seorang buruh yang bekerja pada orang-orang
Yahudi Madinah? Namun berkat bimbingan Rasulullah yang telah mempersudarakan
antara mereka dan ajaran-ajaran Islam yang diterapkan pada masyarakat Madinah
kala itu menjadikan krisis ekonomi yang terjadi di kalangan kaum muslimin itu
berakhir hanya dalam kurun waktu dua tahun. Subhaanallaah... Luar biasa bukan? Tidak
heran karena memang syariat Islam adalah tatanan-tatanan yang diturunkan oleh
Allah SWT. Sang Pencipta Manusia itu sendiri. Zat yang Maha Tahu apa saja yang
terbaik untuk hamba-hambaNya.
******
Dari sini bisa kita simpulkan bahwa jika
manusia ingin solusi bagi segala masalah yang dia hadapi, baik permasalah dunia
apalagi akhirat. Tidak ada jalan keluar terbaik melainkan dengan mengkaji
kembali syariat Islam. Mengkaji syariat Islam berarti mengkaji dan memahami
(yang dalam bahasa Arab disebut dengan Fiqh) dua sumber utama hukum Islam,
yaitu Al Quran dan Hadist Nabawy. Maka siapa pun yang ingin mencari solusi dari
segala dilema kehidupan cara satu-satunya adalah dengan mengkaji dan memahami
Al Quran dan Hadist. Hal inilah yang telah dipraktekkan dan diconthkan oleh
Rasulullah SAW dan para Khulafa Arrasyidiin. Segala permasalah yang terjadi di masyarakat
selalu dikembalikan kepada dua sumber otentik ini. Hal ini terbukti dengan
dibentuknya pada zaman khulafa sebuah dewan syuro yang beranggotakan dari 10
orang sahabat terkemuka yang memegang kuasa penuh dalam memutuskan hukum(shohibul
halli wal’aqd) sesuai dan Al Quran dan Hadist. Maka tidak heran zaman khulafa
arrasyidin adalah zaman keemasan bagi umat Islam. Era yang penuh dengan
kesejahteraan, ketenangan, dan kebercukupan. Banyak orang-orang non muslim yang
datang ke Negara Islam untuk mempelajari berbagai macam disiplin ilmu, seperti
perekonomian, arsitektur, kedokteran dan disiplin-disiplin ilmu yang lain.
Sistem
pengkajian hukum dengan menggalinya dari Al Quran dan Hadist ini terus
barlanjut hingga pada zaman pendiri empat madzhab. Setelah berlalunya era
tersebut mulailah terjadi kemerosotan dalam penggalian hukum ini. Dimana
sebelumnya kaum muslimin sibuk mengkaji
Al Quran dan hadist, kini mereka sibuk mengkaji nash-nash para pendiri
madzhab. Para pengikut Imam Syafi’i sibuk memahami kitab Al Umm, para pengikut
Imam Abu Hanifah sibuk memahami kitab Al Fiqhul Akbar, begitu pula mengikut
Imam-Imam yang lain sibuk memahami nash-nash dari kitab karangan Imam
madzhabnya masing-masing. Dari sinilah mulai muncul semacam tembok tak terlihat
yang menghalangi mereka untuk mengkaji Al Quran dan Hadist yang merupakan
sumber otentik syariat Islam. Masing-masing pengikut madzhab bagitu
mengagung-agungkan nash sang Imam. Di mata para pengikut, hukum yang sudah dicetuskan oleh sang Imam
adalah sesuatu yang mutlak diterima. Tidak boleh satu pun dari mereka yang
boleh memiliki pandangan berseberangan dengan sang Imam. Sehingga nash sang
Imam kini nyaris setara dengan nash Al Quran dan Hadist di mata para
pengikutnya.
Sebagai contoh kongkritnya adalah kitab Minhaj
karya Imam Nawawy. Sebuah kitab yang merangkum secara keseluruhan
pendapat-pendapat yang mu’tamad dalam madzhab Imam Syafi’i. Kitab yang menjadi
rujukan utama para fuqoha muta’akhirin. Mustahil ada salah seorang ulama yang berani
menyalahkan nash yang sudah tertulis dalam kitab tersebut. Tugas para ulama
hanya terbatas memberikan syarah(penjelasan), hasyiyah(catatan tambahan untuk
syarah), mengikhtishar(meringkas) dan menta’liq (memberikan catatan kaki).
Tidak lebih dari itu. Monoton tanpa ada kemajuan. Tidak mungkin bagi mereka
untuk melangkahi kitab Minhaj. Bahkan semua pendapat yang bertentangan yang
nash Minhaj digolongkan dalam pendapat yang tidak mu’tamad. Akibatnya para
penggali ilmu fiqih pun disibukkan dengan memahami nash-nash yang tertera dalam
kitab Minhaj. Secara tidak langsung hal ini menjadi sebuah penghalang untuk
memahami Kitabullah dan hadist nabawy secara langsung. Istilah fiqih kini hanya
terbatas dalam memahami kitab-kitab yang dikarang oleh para pakar fiqih.
Sedangkan memahami dan mengkaji Al Quran dan Hadist tidak lagi dinamakan fiqih.
Konsekwensi dari ini semua menyebabkan keterikatan
kita dengan nash-nash para fuqaha. Tidak ada lagi keleluasaan untuk
berpendapat. Yang ada hanya rasa takun salah, takut jika pendapat yang
disampaikan bertentangan dengan nash salah seorang fuqoha. Pada hal sebenarnya tak satu pun yang berhak
mengekang kita selain Kitabullah dan hadist nabawy. Selama tidak bertentangan
dengan Al Quran dan Hadist kita bebas berpendapat dan berargumen. Jadi sah-sah saja bila kita
tidak setuju dengan pendapat seorang ulama atau mengkritik fatwanya karena tak
seorang pun yang luput dari yang namanya kesalahan selain Rasulullah SAW. Imam
Malik pernah berkata : ”perkataan siapa pun bisa saja diterima atau ditolak,
kecuali perkataan pemilik kubur ini (Rasulullah SAW)”.
******
Al Habib Muhammad bin Abdul Qodir Al Idrus |
Pemaparan di atas bisa dikatakan salah satu
penyebab kemunduran kaum muslimin dalam mengkaji dan memahami Al Quran. Dan
kemunduran dalam mengkaji kitabullah menyebabkan kemerosotan kaum muslimin
dalam segala aspek. Karena dilema kehidupan dihadapi kaum muslimin saat ini amatlah
beragam namun dibiarkan tanpa solusi. Dan pada saat yang sama kaum muslimin
disibukkan dengan memahami permasalahan-permasalahan yang tertulis di dalam
kitab-kitab fiqih yang sering kali tidak ada sangkut-pautnya dengan kenyataan
yang mereka hadapi. Jarang sekali ada pengkajian secara khusus mengenai
permasalahan yang tengah terjadi. Seakan-akan kini fiqih dan kehidupan nyata
berada dalam dua dimensi yang berbeda, fiqih ada dalam satu sisi sedangkan
kehidupan nyata berada dalam sisi yang lain. Tidak ada titik temu. Problem yang
dihadapi oleh manusia terus bercabang dan beranak pinak sedang fiqih yang
berperan sebagai sebuah solusi hanya diam di tempat tanpa ada perkembangan. Hal
ini menunjukkan betapa urgennya sebuah pemahaman dan pengkajian yang dalam
mengenai nilai-nilai yang terkandung Al Quran dan Hadist agar bisa kita
terapkan sebagai solusi terhadap segala dilema kehidupan yang kita hadapi. Tentunya dengan merujuk juga kepada pendapat
Ulama terdahulu tanpa fanatik. Karena kefanatikan juga merupakan sebuah
penghalang menuju sebuah kebenaran.
Hal ini bukan berarti kita tidak perlu lagi
mempelajari kitab-kitab fiqih. Kitab-kitab tersebut tetap harus dipelajari
tanpa melupakan dua sumber utamanya yaitu Al Quran dan hadist. Kita juga harus
tanggap dengan segala permasalahan yang sedang terjadi. Mempelajari dan
mengkajinya untuk menemukan sebuah solusi yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam
Al Quran dan Hadist. Hal ini merupakan jalan satu-satunya untuk mengukir
kembali kejayaan kaum muslimin yang sempat sirna berabad-abad. Karena keadaan
umat saat ini tidak akan membaik kecuali dengan mengikuti jejak langkah para
perdahulunya. Wallaahu a’alam. (Artikel ini merupakan Intisari
dari Muqaddimah Bahst Fiqhy yang di sampaikan oleh Dekan Fakultas Syariah wal
Qonun di Universitas Al Ahgaff, Habib Muhammad bin Abdul Qadir Al Idrus, matta'anallaah bithuuli hayaatihissyariifah).
Posting Komentar untuk "Renungan “Mengukir Kembali Tinta Emas yang Mulai Pudar” "