Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Renungan “Sosok Mulia yang Terlupakan”



Pada tahun itu Imam Sufyan Tsaury bersama rombongannya berniat pergi ke kota Mekkah. Dengan membawa perlengkapan yang secukupnya, beliau menaiki untanya menuju kota yang dulunya menjadi tempat persinggahan Nabiyyullah Ibrahim ‘Alaihissalam itu untuk menunaikan ibadah haji. Setelah menempuh perjalanan behari-hari mengarungi padang pasir yang tandus, akhirnya beliau pun sampai ke tempat yang dituju. Sebuah dataran terendah yang sangat dirindukan oleh kaum muslimin sedunia, Mekkah Al Mukarramah. Sesampainya di Masjidil Haram, beliau bersama rombongannya bergegas melakukan thawaf qudum. Thawaf yang menjadi sebuah pernghormatan selamat datang kepada Ka’bah dari para pendatang yang baru saja menginjakkan kaki di tanah haram. Tanah damai yang diharamkan terjadi diatasnya sebuah peperangan dan pertumpahan darah sejak zaman nabi Ibrahim Abul Anbiya’. 

                Labbaikallaahumma labbaik... Lafazd-lafazd talbiyah terdengar bagitu bergemuruh. Saling bersahutan menta’birkan rasa rindu yang begitu kuat akan Sang Rabill’izzah. Rindu akan rahmat dan ampunanNya. Rindu akan panggilanNya yang akhir tersampaikan. Di tengah kerumunan orang yang sedang melakukan thawaf itu, ada salah seorang lelaki yang menarik perhatian Imam Sufyan Tsaury. Disaat ribuan orang sedang serentak menyerukan talbiyah, mulut orang tersebut mengucapkan kalimat lain. Kalimat yang tidak asing lagi baginya. Lelaki paruh baya itu melantunkan shalawat kepada Rasulullah SAW.
Mekah tempo doloe

Dari kejauhan Imam Sufyan terus memperhatikan gerak-gerik laki-laki tersebut. Ketika thawaf, sa’i, wuquf, di mana pun ia berada, mulut lelaki paruh baya itu selalu saja basah dengan mengucapkan shalawat kepada Rasulullah SAW. Entah apa yang membuat lelaki itu tidak lepas dari mengucap shalawat. Hati Imam Sufyan terus bertanya-tanya, penasaran akan sikapnya yang menurutnya kurang wajar itu. Karena rasa ingin tahu yang begitu kuat, akhirnya setelah selesai melakukan semua manasik haji beliau bertanya kepada orang tersebut :
Wahai pemuda, ketika orang-orang menyerukan talbiyah, ku lihat kau sibuk mengucapkan shalawat sampai-sampai kau tidak ikut mengucapkan talbiyah. Kenapa kau lakukan itu?”
Laki-laki itu pun tersenyum, lalu dia balik bertanya:

“Kalau boleh tau sampean siapa ya?”

Imam Sufyan pun menjawab :

“Saya Sufyan, pendatang dari kota Kufah”

“Oh, baiklah... saya akan sedikit bercerita mengenai kejadian yang menimpa ibu saya”


Pemuda itu pun mulai menceritakan bahwa pada beberapa tahun yang lalu, dia pergi haji menemani ibundanya. Ditengah perjalanan sebelum sampai di kota Mekkah sang ibu jatuh sakit dan tidak lama kemudian wafat. Ketika ibunya wafat, dia pun mulai melihat keanehan yang terjadi kepada ibunya. Tubuh ibunya yang dulunya putih itu kini berubah menjadi hitam legam. Sang pemuda pun bingung dan tidak tahu harus melakukan apa. Dia tidak kuat menahan malu untuk membawa jasad ibunya ke kota dan meminta pertolongan. Akhirnya ia pun duduk termenung di tengah padang pasir, sambil menatap ke wajah ibunya itu. Hatinya sedih sekaligus iba akan nasib yang menimpa ibu tercintanya. Dengan selembar kain yang dibawa, ia tutup jasad ibunya itu agak tak seorang yang melihatnya. 

Sang anak terus diam seribu bahasa membatu di tempat tersebut. Tidak ada yang dapat ia harapkan melainkan ampunan dan rahmat dari Allah SWT untuk ibundanya. Tak lama kemudian rasa kantuk pun mulai hinggap di matanya. Akhirnya dia pun terlelap. Dalam tidurnya ia melihat seorang laki-laki yang berparas tampan bercahaya, berbadan tinggi dan berbau semerbak. Laki-laki itu datang menghampiri sang ibu yang sedang tergeletak tak berdaya. Dia membuka kain penutup kemudian mengusapkan tangannya di wajah sang ibu. Seketika wajah ibunya pun kembali putih seperti semula. Setelah itu, laki-laki itu pun bergegas beranjak dari tempat tersebut. Kejadian itu berlalu begitu cepat dan sempat membuat si pemuda bingung. Namun, anak muda itu dengan sigapnya menarik pakaian laki-laki yang sangat berjasa itu lalu bertanya:

“Man anta rahimakallaa?” (siapakah engkau “semoga Allah merahmatimu?”)

Laki-laki itu pun menoleh, dengan tersenyum ia berkata :

“ ama ta’rifunii ya rojul? Ana nabiyyuka Muhammad” (apakah kau tidak mengenalku wahai lelaki? Aku adalah nabimu Muhammad)

“Ibumu ketika hidupnya sangat berlebihan dalam melakukan maksiat sehinggat terjadilah apa yang terjadi. Namun ia sangat rajin mengucapkan shalawat kepadaku. Sebelum tidur ia selalu bershalawat sebanyak seribu kali untukku. Ia berhak untuk mendapatkan syafaatku”.

Laki-laki itu pun pergi entah kemana dan tak lama kemudian sang pemuda pun terbangun dari tidurnya.  Ia lihat kini muka ibunya kembali putih seperti sediakala. Dia pun sangat bersyukur dan mulai saat itu ia bertekat untuk selalu bershalawat kepada Rasulullah SAW, di manapun dan kapan pun. 

*****

Kitab Al Fawaid Al Mukhtaroh
Demikianlah kisah yang saya kutip dari ceramah salah seorang habaib di akhir majlis maulid di Darul Musthafa yang diadakan rutin setiap malam jum’at. Kisah yang senada dengan apa yang pernah saya baca dalam kitab Al Fawaidul Mukhtaroh, karya Habib Ali bin HasanBaharun. Sebuah kisah yang menunjukkan akan betapa besarnya keutamaan bershalawat kepada Rasulullah SAW. Disebutkan bahwa shalawat merupakan satu-satunya amal ibadah yang pasti diterima meskipun si pembaca melakukannya karena riya’, ‘ujub atau sum’ah. Berbeda dengan amal ibadah lain yang kita sama sekali tidak tahu-menahu apakah diterima ataukah sebaliknya. Ditolak mentah-mentah. Oleh karena itulah kita tidak dianjurkan untuk mengandalkan apalagi merasa bangga(‘ujub) dengan ibadah yang penuh ketidak pastian tersebut.  

Tidak heran memang mengapa ibadah shalawat memiliki keistimewaan tersebut apabila kita memandang kepada siapakah kita bershalawat. Rasulullah Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam. Sosok yang paling berjasa bagi umat manusia. Sosok yang rela dihinakan, disiksa, dan dipandang sebelah mata, demi tersebarnya syari’at yang diembankan kepada beliau. Syariat yang kelak menjadi cahaya bagi umat manusia menuju kehidupan yang damai, tentram dan penuh rasa ukhuwwah. Syari’at yang menjadi solusi bagi seluruh problem duniawi maupun ukhrawi. Salah-satu sabda beliau -yang menurut saya pribadi khususnya- sangat menggetarkan hati yaitu ketika para kaumnya membujuk beliau melalui paman beliau Abu Thaib untuk berhenti berdakwah. Sang paman yang sudah berkali-kali didatangi oleh kaumnya pun seakan merasa risih, dengan terpaksa dia pun sekali lagi membujuk keponakan tercintanya itu untuk mengiyakan keinginan kaum. Rasulullah yang melihat permintaan pamannya yang bernada memaksa itu pun merasa seakan kini pamannya sudah tidak lagi mendukung perjuangannya. Dengan sedikit rasa kecewa dan sedih yang mendalam, beliau berkata kepada pamannya : 

“wahai pamanku... Demi Allah, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku agar aku melepaskan syariat ini, aku tidak akan rela melepaskannya, meskipun diriku harus binasa karenanya, hingga tiba waktu dimana Allah menampakkannya”.

Rasulullah pun beranjak pergi meninggalkan pamannya dalam keadaan air mata yang mengalir membasahi kedua pipinya. Setelah sang paman mendengarkan pernyataan keponakan tercintanya itu dan keteguhan pendiriannya, akhirnya Abu Thalib pun berseru : “Wahai keponakanku... Kemarilah!”. Rasulullah pun menoleh ke arah pamannya itu, lalu pamannya berkata : “Mulai saat ini sampaikanlah apa yang engkau ingin sampaikan. Demi Allah, aku tidak akan menyerahkanmu kepada mereka sampai kapan pun”.

          Subhanallaah... itulah setetes kisah tentang getir pahit perjuangan dan pengorbanan Nabi kita Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam. Sudah tidak terhitung berapa banyak jasa beliau kepada kita para umatnya. Lantas, apa yang sudah kita lakukan untuk beliau? Dalam sehari berapa kalikah kita mengenang atau sekedar mengucapkan shalawat kepada beliau? Kalau bukan amaliyah yang pasti diterima ini, amaliyah mana lagi yang akan kita banggakan di hadapan Allah SWT kelak? Begitu beratkah lisan ini meski hanya sekedar untuk mengucapkan “Allahumma shalli’ala sayyidinaa Muhammad wa aali Muhammad”? mungkin ini semua bisa menjadi sebuah renungan untuk kita untuk kembali menginstropeksi diri akan betapa teledornya kita dalam membalas jasa Nabi kita yang termulia ini. Semoga dengan kesadaran itu, kita kembali meningkatkan rasa cinta kita kepada Beliau Shallallaahu ‘Alaihi Wasallah. Agar kelak kita mendapat syafa’at beliau kemudian dikumpulkan bersama orang-orang yang kita cintai. Semoga artikel singkat ini bermanfaat. Wabillaahi Taufiq. 




*****

Posting Komentar untuk "Renungan “Sosok Mulia yang Terlupakan”"