Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Biografi Muassis Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah "Al Habib Hasan bin Ahmad Baharun"



Al Habib Hasan bin Ahmad Baharun
Biografi Habib Hasan bin Ahmad Baharun - Kali ini saya ingin menulis sekelumit tentang kehidupan Muassis Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah. Tempat dimana saya mondok ketika di Bangil selama 5 tahun. Beliau adalah Al Habib Hasan bin Ahmad bin Husein bin Thohir bin Umar Baharun. Sosok panutan yang tak kenal lelah untuk memberikan suri tauladan dan konstribusi kepada umat hingga akhir hayatnya. 
Habib Hasan Baharun atau yang sering dipanggil oleh para santri dengan Abuya Hasan dilahirkan di kota Sumenep, Madura pada tanggal 11 Juni 1934. Sejak kecil, disamping ayahanda yang mendidiknya secara langsung, beliau juga belajar ilmu agama kepada kakek beliau yaitu Ustadz Ahmad bin Muhammad Bakhabazi, salah seorang ulama terkemuka di Sumenep, Madura. Setelah sang kakek meninggal dunia, paman beliaulah yang menggantikan almarhum untuk mengajari dan mendidik Habib Hasan Baharun. 

Sejak kecil himmah dan semangat beliau dalam menuntut ilmu luar biasa. Tidak hanya ilmu agama, ilmu umum juga beliau pelajari. Pendidikan formal beliau dimulai dengan ikut serta dalam Sekolah Rakyat yang kala itu setara dangan Sekolah Dasar (SD), dilanjutkan Pendidkan Guru Agama (PGA), kemudian SMEA. Maka tidak heran jika kelak disamping sangat  faham ilmu agama, beliau juga aktif dalam organisasi kemasyarakatan dan dekat dengan para ulama dan tokoh-tokoh masyarakat. Beliau bisa bergaul dengan siapa saja, pejabat, pengusaha kaya maupun orang biasa. seperti air yang selalu bisa berbaur  dengan apa yang ada disekitarnya.

Beliau juga sosok yang sangat gigih dalam menyebarkan bahasa Arab di Nusantara. Kegigihan ini lahir karena beliau faham betul bahwa memahami bahasa Arab merupakan satu-satunya cara agar seseorang bisa memahami ilmu agama. Disamping bahasa Arab juga merupakan salah satu bahasa Internasional dan sangat dibutuhkan terutama setelah terjalinnya hubungan yang erat antara Negara Indonesia dan Arab Saudi kala itu. 

Motivasi inilah yang menyulut semangat beliau untuk menyebarkan bahasa penduduk surga itu, sebagaimana yang tertulis di muqaddiah kitab Al-‘Asriyyah karya pertama beliau. Beliau pun mulai datang ke pondok-pondok di Jawa Timur dan menawarkan diri untuk mengajar. Tak jarang beliau mendapatkan penolakan bahkan cacian. Namun kesabaran dan keikhlasan beliaulah yang menjadikan beliau terus pantang menyerah untuk mewujudkan cita-cita mulia, yaitu tersebarnya bahasa Arab di Bumi Pertiwi. Kini Alhamdulillah perjuangan keras beliau sudah dapat kita rasakan. Bahasa Arab telah menjadi sebuah bahasa yang diperhitungkan dan sudah menjadi pelajaran yang wajib diajarkan pondok-pondok dan sekolah umum.

kamus kontemporer Al'Asriyyah
Diantara cita-cita Habib Hasan Baharun, beliau sangat ingin membangun sebuah pondok yang kelak menjadi pusat pengembangan bahasa Arab. Pondok yang akan ramai dengan santri-santri mulutnya basah dengan mufrodat Arabiyyah. Keinginan tersebut beliau simpan dalam hati yang terdalam. Hingga pada tahun 1981, guru beliau yaitu Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliky memerintahkan kepada beliau untuk membangun sebuah pondok. 

Kurangnya dana yang beliau miliki tidak menjadi halangan untuk melaksanakan perintah sang guru. Akhirnya dengan menggunakan sebuah rumah kontrakan yang  amat sangat sederhana, dirintislah sebuah pondok pesantren yang kelak menjadi langkah awal untuk terwujudnya cita-cita beliau itu. Jumlah santri saat itu hanya 6 orang. Kala itu pondok tersebut diberi nama Daarullughah Walma’aarif dan lokasnya  terletak tidak jauh dari pasar Bangil daerah Pekauman. 

Pada tahun 1985, setelah Habib Hasan membeli tanah di daerah Raci, lokasi pondok pun pindah ke daerah tersebut.  Sebuah desa yang  berjarak sekitar sepuluh menit perjalanan dari Bangil dan masih sepi dari penduduk. Hal itu dikarenakan desa tersebut sangatlah rawan dan angker, bahkan tak seorang pun yang berani melewatinya ketika hari sudah mulai gelap. Nama pondok juga diubah menjadi Darullugah Wadda’wah yang berarti “rumah bahasa dan dakwah”. Sesuai dengan visi dan misi dibangunnya pondok tersebut.


Dimata para santrinya beliau dikenal sebagai sosok ayah yang penyayang. Tak jarang beliau memanggil santrinya dengan sebutan “ya walady” (wahai anakku) dan santri-santri pun memanggil beliau dengan panggilan “Abuya” (ayah). Tiada hari yang beliau lakukan melainkan mendidik dan berkumpul bersama-sama santrinya. Beliau sadar betul bahwa seorang yang memiliki santri itu ibarat induk ayam yang sedang bertelur. Apabila dia sering meninggalkan sarangnya maka pastilah telur tersebut tak akan menetas.  

Tidak segan-segan beliau masuk kedalam kamar santri bahkan pernah  tidur di  ranjang  salah satu santrinya. Sang santri pun dengan senang hati menunggu bangunnya Abuya Hasan. Beliau juga sering makan bersama di kamar santri dengan lauk yang sama seperti yang dimakan para santri. Hal itu beliau lakukan agar terjalin kedekatan antara seorang guru dan murid-muridnya dan agar beliau lebih mudah dalam memantau keadaan santri-santrinya.

Pondok Pesantren Darullughah Wadda'wah saat ini
        
Beliau juga seorang pendidik sejati. Rohaniah para santri tak luput dari perhatian beliau. Beliau sangat marah apabila ada salah seorang santri yang membuang-buang makannya. Pada saat para santri sibuk belajar di dalam kelas, tidak jarang beliau masuk ke dalam kamar santri satu persatu, sambil mambawa wadah beliau memungut sisa-sisa makan para santri untuk beliau bawa kerumah lalu memakannya. Santri mana yang tidak luluh hatinya ketika melihat gurunya memungut sisa makanan yang menurutnya tidak berhaga itu. 

Pernah juga pada saat pohon mangga yang ada pondok berbuah begitu lebat. Diantara para santri ada yang tergiur dan sangat ingin menyicipi buah mangga tersebut. Pada malam harinya, disaat kebanyakan santri sudah terlelap dalam tidur mereka, muncullah beberapa orang santri yang ingin mencuri dan menyantap buah mangga itu. Ketika Abuya Hasan mengetahui kasus tersebut beliau langsung mengumpulkan para santri di Masjid dan memerintahkan bagi siapa saja yang merasa pernah mengambil buah mangga milik pondok untuk mengaku dan menggantinya dengan uang tunai. Abuya Hasan pun mengumpulkan uang tersebut untuk membeli buah mangga di pasar dan juga memanen buah mangga yang ada di pondok. Setelah buah mangga itu terkumpul beliau bagi-bagikan kepada seluruh santri secara adil sehingga seluruh santri merasakan nikmatnya buah mangga. Beliau tidak ingin santri-santrinya menjadi orang yang egois dan hanya memikirkan kepentingan  diri sendiri.

Sebenarnya masih banyak cerita menarik dari kehidupan Abuya Hasan yang dapat kita tiru dan ambil hikmahnya. Meskipun saya tidak satu zaman dengan beliau, namun tidak jarang dari para Asatidz yang pernah menjadi murid beliau bercerita bagaimana kehidupan Abuya Hasan bersama para santrinya. Cerita itu terus berlanjut hingga menjelang hari kewafatan Abuya Hasan, saat beliau menderita sakit yang lumayan parah dan dokter yang memeriksa beliau menyarankan untuk banyak-banyak beristirahat. Tapi beliau masih tetap turun mengajar dan mengurus pondok. Ketika salah seorang yang dekat dengan beliau menegur dan menyuruh beliau untuk istirahat, beliau pun berkata “saya sakit ini merupakan pertanda waktu saya disini tinggal sedikit, saya tidak punya waktu untuk istirahat”. 

Semangat mengajar beliau tidak kunjung padam meskipun beliau tengah menderita sakit yang cukup parah. Hingga pada malam hari tanggal 23 Mei 1999 M. yang bertepatan dengan 8 Shafar 1420, di dalam maktabnya  dalam keadaan terduduk Abuya Hasan menghembuskan nafas terakhir. Kepergian beliau tentunya sangat menyisakan luka dan rindu di hati para murid dan orang-orang yang mencintai beliau. Beliau di makamkan di pondok tercintanya agar kelak para santri dapat menziarahinya kapan pun. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmatNya kepada beliau, istri, anak-anak dan keluarga beliau, semoga mereka semua dikumpulkan bersama Rasulullah SAW di dalam surganya dan semoga kita para muridnya selalu mendapat keberkahan berkat beliau. Aamiiiiin. Lahul Faatihah.


Makam Abuya Hasan bin Ahmad Baharun


Demikianlah sekelumit dari kisah hidup Abuya Hasan Baharun. Tulisan di atas saya rangkum dari berbagai artikel dan dari cerita yang saya dengar langsung dari asatidz di pondok Dalwa. Semoga bermanfaat dan bisa kita tiru dan ambil hikmahnya. 

Baca juga :

Posting Komentar untuk "Biografi Muassis Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah "Al Habib Hasan bin Ahmad Baharun""