Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Renungan “Saat Logika Tak Lagi Bersuara”



ilustrasi gambar oleh Remy Fernando
               Di sebuah desa yang terpencil dekat dengan kaki pegunungan,hiduplah seorang ayah bersama satu orang anaknya. Sang ayah tergolong orang kaya di desa tersebut dikarenakan begitu banyak lahan yang dia miliki. Hingga pada suatu saat dia ingin membangun sebuah Villa untuk anak satu-satunya itu di puncak gunung. Tidak mudah ternyata membangun villa tersebut. Ada banyak hal yang harus dipersiapkan untuk memebuat bangunan dipuncak gunung yang dimaksud karena konon disana terdapat sarang ular raksasa yang berbisa.

               Satu tahun pun berlalu. Akhirnya villa tersebut bisa diselesaikan dengan baik. Bangunan yang kokoh dan indah itu tampak seperti istana jika dilihat dari kaki pegunungan. Sang ayah pun menghabiskan sisa umurnya bersama anaknya di villa tersebut. Dihalaman villa tepat disebelah genangan air mancur yang penuh dengan ikan cupang itu terdapat sebuah tanaman unik, mirip seperti rumput, tidak memiliki kuntum bunga namun mengeluarkan aroma sangat wangi semerbak. Tanaman itu selalu dijaga oleh sang ayah sepanjang hidupnya. Hingga pada detik-detik kewafatannya,sang ayah mewasiatkan kepada anaknya untuk selalu menjaga tanaman unik peninggalannya itu seumur hidupnya juga.

Setelah kematian ayahnya, sang anak pun menjalani hari-hari seperti biasa, tak lupa juga dia dengan wasiat ayahnya untuk selalu memelihara tanaman unik peninggalan ayahnya. Disamping dia juga sangat suka mengoleksi tanaman-tanaman yang bunga dengan aneka warna dan aroma yang khas. Sehingga halaman villa kini penuh dengan warna warni bunga. Siapa pun yang melewati villa tersebut akan mencium aroma wangi bak parfum Eropa. Tidak heran banyak kupu-kupu dan lebah yang berkunjung ke taman bunga itu.

             Sang anak yang dulunya selalu ingat pesan ayahnya, kini mulai disibukkan dengan memelihara taman bunganya. Tanaman peninggalan ayahnya kini mulai layu dan tidak lagi menyemerbakkan aroma khasnya. Pikir sang anak “toh sudah banyak bebungaan yang juga tidak kalah semerbak, meskipun mati masih banyak tanaman lain yang menggantikannya”. Karena sudah berhari-hari tidak disiram, akhirnya  tanaman tersebut pun mati.

              Pada malam harinya, saat cahaya bulan mulai menerangi tanah pegunungan, sang anak dikejutkan oleh seekor hewan yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Seperti ular namun ukurannya sangatlah besar dan panjang. Sang anak pun menjadi teringat dengan mitos ular raksasa yang bersarang dipuncak gunung tempat dimana dia tinggal. Ia juga teringat dengan pesan ayah untuk selalu menjaga tanaman peninggalan ayahnya. Ternyata tanaman itulah yang menjadi pencegah kedatangan ular raksasa itu selama ini. Namun nasi telah menjadi bubur, ular itu mulai memporak-porandakan halaman dan  siap melahap siapa pun yang ada di villa tersebut. sang anak pun tewas menjadi santapan ular raksasa itu dan kini tak seorang pun yang berani berkunjung ke puncak tersebut. 

******
Habib Abdullah Baharun bersama Habib Zein Baharun Pimpinan Pon Pes DALWA









            Cerita diatas saya kutip dari kitab “Al Islam Wal’aql” karya Dr. Abdul Halim Mahmud, kitab yang direkomendasikan oleh Prof. Al Habib Abdullah Baharun selaku rektor Jami’ah ketika kami belajar madah Aqidah bersama beliau. Tentunya cerita diatas lebih panjang dibandingkan dengan


yang ada dikitab karena beberapa tambahan alur dan diksi :) .

            Dari cerita tadi, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa tujuan sang ayah mewasiatkan kepada anaknya


untuk menjaga tanaman peninggalannya ada dua :

  •  agar sang anak merasa nyaman dengan aroma wangi tanaman tersebut, dan ini secara logis sudah dapat difahami oleh logika sang anak.
  •  agar sang anak selamat dari ancaman ular raksasa dengan adanya aroma tanaman tersebut, dan hal ini masih belum bisa ditangkap oleh nalar sang anak. 
 Karena sang anak tidak mentaati wasiat ayahnya dan terlalu mengandalkan logikanya akhirnya bencana lah yang ia dapat. Coba seandainya dia menerima nasehat ayahnya pasti dia akan selamat dari ancaman ular raksasa itu.

           Nah, fenomena yang serupa sering terjadi. Tidak sedikit kita menemukan orang-orang  berlabel muslim yang masih terlalu menuhankan logikanya. Mengkritik sebagian hukum yang sudah tertera jelas dalam Al Qur’an dan Hadist lantaran tidak sesuai dengan hawa nafsu yang sering kali diistilahkan dengan logika. Kita ambil contoh seperti hukum berhijab yang katanya hanyalah adat kebiasaan orang Arab, hukum waris bagiannya laki-laki dua kali lipatnya bagian perempuan yang dikatakan tidak adil, hukum poligami yang merendahkan martabat wanita dan hukum-hukum lain yang sering mendapat kritikan pedas dari orang islam itu sendiri.

             Satu hal yang perlu kita ingat adalah agama Islam dengan segala aspeknya meliputi aqidah, syariat dan akhlak, semuanya itu berdasarkan wahyu dari Tuhan yang menciptakan Alam Semesta, yang lebih mengetahui apa yang terbaik untuk hambaNya. Kita sebagai hamba cukup menerima tanpa bertanya “kenapa” dan “untuk apa”. Karena agama bukanlah logika, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Sayyidina Ali :”seandainya agama itu dengan logika, niscaya membasuh bagian bawah khuf lebih pantas dari pada membasuh bagian atasnya”. Meskipun sebenarnya tidak ada yang betul-betul tidak logis dalam agama kita. Hanya saja akal kita saja yang tidak sanggup menalarnya. Karena akal bukan Tuhan yang selalu benar. Akal memiliki titik kelemahan, yaitu ketika berurusan sesuatu yang metafisik. Sesuatu yang belum pernah terjamah oleh kelima indra dan akal sehat kita. Untuk tujuan inilah Allah SWT mengutus seorang Rasul agar menjelaskan kepada kita hal-hal yang perlu kita ketahui dari segala sesuatu yang tidak mungkin bisa difahami oleh akal sehat kita. Sebagai seorang muslim sikap yang paling tepat adalah “taslim”(menerima) segala kebenaran yang mutlak itu tanpa keraguan, yang karenanya seorang muslim dikatakan muslim. Wabillaahittaufiq :)

*****

Posting Komentar untuk "Renungan “Saat Logika Tak Lagi Bersuara”"